Walau kami orang Pinggiran Tapi Pengetahuan Kami Mendunia

Rabu, 17 Desember 2008

Perencanaan Karir Aktivis Dakwah


Pengemban (aktivis) dakwah Islam sejatinya adalah sosok yang mampu mencurahkan seluruh pemikiran (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) yang ada dalam dirinya untuk dakwah Islam. Dakwah bagi seorang pengemban dakwah sejati adalah merupakan poros kehidupan (markazul ihtimam)-nya. Semua aktivitas hidupnya berpusat pada dakwah. Dengan kata lain dakwah menjadi pertimbangan utama dalam seluruh aktivitas yang akan, sedang dan telah dilakukannya.

Allah swt berfirman dalam QS. Fushshilat : 33 : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang sholeh dan berkata : ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri ?’.

Namun sayangnya, tidak jarang dan tidak sedikit diantara mereka yang kemudian tumbang dan berguguran di tengah jalan. Semasa ia kuliah, semangat dakwah demikian tinggi bersama teman-temannya. Tetapi seiring perjalanan waktu dan tantangan riil dalam hidup yang dihadapinya, sedikit demi sedikit ghirah (semangat) dan idealisme keumatannya pun menipis dan akhirnya hilang ! Fenomena umum….

DR. Fathi Yakan dalam bukunya, “Yang Terpuruk di Jalan Dakwah” mensinyalir salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran akan nasib pribadi dan keluarganya di masa depan. Barangkali inilah salah satu kenyataan nubuwah Rasul (ramalan) dalam sebuah haditsnya yang menyatakan, bahwa umat Islam akan banyak tapi tidak berdaya (seperti buih laut yang terombang-ambing) dan itu disebabkan oleh dua hal : takut mati dan cinta dunia. Wallahu’alam.

Oleh karenanya, penting bagi seorang aktivis dakwah untuk juga menyiapkan masa depannya dengan membuat rancangan ‘karir’ hidupnya dengan baik. Dengan itu, maka kemungkinan futur dari dakwah tidak akan terjadi. Disamping dia akan menjadi mendiri sehingga izzah (kemuliaan) dirinya terpelihara dihadapan umat. Bukan sebaliknya, menjadi orang yang mudah ditekan dan dipengaruhi hanya karena hidupnya tergantung pada orang lain.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh para pengemban dakwah dalam menyiapkan rencana karir hidupnya ? Berikut beberapa langkah yang mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi dan penambah semangat.

Miliki dan Tanamkan Visi Masa Depan

Visi merupakan pandangan ke depan untuk melihat dan merencanakan apa yang perlu dilakukan serta tujuan yang ingin dicapai yang dibangun diatas paradigma tertentu (aqidah Islam). Kejelasan visi akan membuat kita efektif dan efisien dalam menggunakan seluruh potensi dan energi yang dimiliki kepada tujuan yang fokus dan jelas. Misalnya, kita bisa mencanangkan bahwa visi saya adalah menjadi seorang expert dibidang komunikasi pemasaran syariah yang memiliki kontribusi dalam menyatukan umat Islam seluruh dunia

Buat Perencanaan

Perencanaan akan membantu mengarahkan apa yang harus kita lakukan, tujuan yang kita inginkan, dalam kurun waktu tertentu. Sehingga seluruh sumber daya yang dimiliki bisa digunakan secara optimal meraih tujuan itu melalui tahapan-tahapan yang jelas.

Tingkatkan Kompetansi dan Keterampilan

Siapapun akan membutuhkan kita selama kita memiliki kompetensi dan keterampilan yang sesuai. Semakin kuat dan spesifik kompetensi dan keterampilan yang kita miliki, semakin besar peluang untuk dicari orang. Oleh karenanya, pilih dan tentukan kompetensi dan keterampilan yang kita senangi atau paling kita kuasai. Terus belajar dan bergaul dengan komunitas yang mendukung. Hasilkan karya (agar bisa mengukur diri dan memberikan motivasi bagi kita). Kemudian tantang diri kita untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit. Dan akhirnya, buatlah perbedaan/ ke-khasan (diferensiasi).

Lakukan sinergi

Esensi dari sinergi menurut Steven Covey (The 7 habits) adalah kemampuan menghargai perbedaan (bukan dalam hal aqidah tentunya)-menghormatinya, membangun atas dasar kekuatan dan menutup kelemahan.

Konsistensi dan Bersabar

Salah satu penyebab kegagalan yang terjadi dalam kehidupan kita adalah kurangnya konsistensi dan bersabar. Konsistensi merupakan kekuatan untuk selalu fokus pada tujuan dan mengusahakannya. Sedang kesabaran merupakan penyeimbang atas semua ‘ambisi’ hidup kita agar bisa melalui proses kehidupan step by step hingga selesai.

Seperti yang sering dikutip oleh Jamil Azzaini dalam setiap trainingnya, ‘Pelaut yang handal tidak akan pernah lahir dari lautan yang tenang’.

Semoga bermanfaat, dan always keep on dakwah.

Mengikis Kesombongan


Oleh : Abdullah Gymnastiar

Mengikis Kesombongan
Sahabat, merasa diri besar atau sombong adalah penyakit hati yang sangat membahayakan. Kita harus berhati-hati dengan penyakit ini. Karena sombong, setan terusir dari surga dan kemudian dikutuk Allah selamanya.
Rosulallah SAW. Bersabda, ” Tidak akan masuk surga siapa yang didalam hatinya ada kesombongan walau seberat debu” (HR. Muslim).
Allah benar-benar mengharamkan surga bagi orang-orang sombong. Sombong atau takabur hanya layak bagi allah yang memang memiliki keagungan sempurna. Mahluk hanya sekedar menerima kemurahan dari-Nya.
Penyakit sombong bagaikan bau busuk yang sulit untuk disembunyikan. Orang yang mengidap penyakit ini demikian mudah dilihat dan dirasakan.
Perhatikan penampilan orang sombong. Mulai dari ujung rambut, lirikan mata, tarikan napas, senyum sinis, tutur kata, nada suara, bahkan senandunya pun benar-benar mununjukan keangkuhan. Begitupun cara berjalan, gerak-gerik tangan bahkan hingga ke jari-jari kaki. Semuanya menunjukan orang yang buruk perangainya.
Ada pertanyaan menarik. Pantaskah sebenarnya orang bersikap sombong, jika seluruh kabaikan pada dirinya semata-mata hanya berkat kemurahan Allah kepadanya? Padahal jika Allah menghendaki, dia bisa terlahir sebagai kambing. Tentu saja saat itu tidak ada lagi yang dapat disombongkan. Atau kalau Allah berkehendak, dia bisa terlahir dengan otak minim. Apalagi yang bisa disombongkan? Kita begitu rendah dan lemah dihadapan allah.
Maka kita harus hati-hati mengahadapi penyakit hati ini. Langkah hati-hati ini bisa diawali dengan mengenali ciri-ciri kesombongan. Rosulullah SAW. Bersabda, ”Sombong Itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia” (HR. Muslim). Jika dalam hati kita ada satu atau kedua-duanya, maka kita akan masuk ke dalam deretan orang-orang sombong.
Bagaimana cara menghindari dari sikap sombong? Pertama, mengetahui dan memahami ilmunya; apa dan bagaimana sombong itu, serta bahaya yang ditimbulkanya. Sadarilah, sifat sombong tidak disukai manusia, diakhirat mendapat siksa. Kedua, menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sebagai manusia. Ketiga, berlatih untuk berlapang dada menerima kebenaran dari siapa pun. Keempat, Berlatih untuk rendah hati dan tidak memandang rendah orang lain. Dihapan Allah semua orang sama, yang membedakan hanya ketakwaan. Kelima, berdoalah agar kita dijauhkan dari kesombongan. Wallahu a’lam

Tatkala Hati Membeku


Pernah tidak kita merenung? Sudah berapa kali kita pernah menangis karena takut pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa ngeri ketika ingat neraka-Nya atau terkenang dengan bertumpuk-tumpuknya dosa yang pernah kita lakukan? Sudah berapa kali shalat yang kita kerjakan begitu kita nikmati karena kita bisa merenungi makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca?

Itu tentu sangat sulit!……. Mungkin seperti itu jawaban sebagian dari kita. Pernah tidak kita berfikir apa yang menjadi sebab hal itu? Penyebabnya tidak lain adalah bekunya hati kita yang menyebabkan kita sulit untuk menangis serta tidak bisa khusuk dalam shalat.

Berikut ini adalah beberapa penyebab kebekuan hati yang kita alami. Sehingga kalau kita sudah mengetahui penyebabnya, kita bisa menterapi hati kita yang sudah terlanjur membeku.

Bergaul yang tidak berfaedah
Teman punya pengaruh yang signifikan pada diri kita. Dia akan memberikan warna dalam kepribadian kita. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberi perumpamaan. Teman yang tidak baik itu seperti Pandai Besi, andai tidak terbakar pun, minimal kita, yang mau tidak mau pasti mendapatkan udara yang panas. Karena itu kita harus mampu mengendalikan diri dengan baik agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tidak bermanfaat.

Berbicara yang tidak perlu
Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang kadang-kadang tidak ada manfaatnya, baik untuk dunia maupun akhirat kita. Hati-hati dengan lisan kita, salah omong urusannya berabe. Apakah kita lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan lidah hanya satu dan telinga ada dua, dengan tujuan yaitu supaya kita lebih banyak diam untuk mendengar daripada bicara.

Namun kita sangat sering melupakan hal ini apalagi kalau sedang asyik berbicara, kita lupa untuk mendengar. Jadi perlu pengendalian kata agar tidak percuma dan sia-sia. Karena itu kebisaan gosip mesti dikurangi dan dihilangkan!

Memandang yang tidak perlu
Tidak mengatur pandangan yang kita lakukan akan menimbulkan tiga dampak negatif yaitu terkena panah Iblis yang beracun. Oleh karena itu Nabi menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik” (HR: Ahmad). Setan masuk seiring pandangan untuk menyalakan api syahwat. Membuat hati lupa dan menyibukkannya sehingga terjerumus ke dalam mengikuti hawa nafsu dan kelalaian.

Berlebih-lebihan dalam makan
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Selama 16 tahun aku hanya pernah kenyang sekali saja, yang akhirnya kumuntahkan. Karena kenyang itu membuat badan terasa berat, hati menjadi keras, kepandaian menjadi hilang, menyebabkan ngantuk dan membuat orang loyo dalam beribadah”. (diwan Imam Syafi’I hal. 14). Sehingga makan itu sekedarnya saja, kalau bisa jangan sampai kekenyangan. Tidak sehat dan membuat malas.

Tidur yang berlebihan
Coba kita renungkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa salam tentang orang yang tidur satu malam penuh, bangun-bangun sudah pagi tanpa shalat malam: “Itulah orang yang telinganya atau kedua telinganya dikencingi syetan.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Menghina ulama
“Daging para ulama itu beracun”, demikian pesan para ulama kita. Terlebih lagi bila kita menghina dan menggunjingkan mereka karena karena ilmu syar’i yang mereka miliki. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dalam hal ini.

Tidak membaca Al Qur’an dengan merenungi maknanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad: 24).

Orang yang tidak merenungi ayat–ayat Al Qur’an tidak hanya satu atau dua gembok yang mengunci hatinya? Bahkan dalam hati tersebut terdapat banyak gembok. Banyak kan!! Kira-kira ada berapa gembok di hati kita?

Tidak merenungi kematian, alam kubur, surga, dan neraka
Nabi memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita teringat akan akhirat. Nabi juga memerintahkan untuk banyak mengingat kematian yang merupakan penghancur kesenangan hidup (HR: Abu Daud). Mengapa? Karena mengingat mati adalah mesin penggerak untuk beramal shalih yang ada dalam diri orang beriman.

Tidak mengkaji kehidupan umat terdahulu yang sholeh (Sahabat dan 2 generasi setelahnya)
Mereka merupakan manusia terbaik yang dekat dengan masa kenabian. Seluruh keutamaan terkumpul dalam diri mereka. Lihatlah kekhusyua’an mereka dalam shalat, shalat malam mereka, shalat berjamaah mereka, bhakti mereka kepada orang tua, zuhud mereka, antusias mereka dalam mencari ilmu, dan sebagainya. “Siapakah kita dibandingkan mereka?” Itulah kesimpulannya. Karena kurang mengetahui kehidupan mereka, maka hati kita jadi keras, sombong, ujub, sudah merasa beramal dan berjasa besar terhadap Islam.
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala cairkan hati-hati kita yang mulai membeku karena Dialah yang mengendalikan hati-hati hamba-Nya.


Sumber Rujukan: Tazkiyatun Nufus, dll, from Cyber Muslim, diambil dari www.MediaMuslim.Info

Ikhlas Beramal

Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah”, ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya”. “Apa yang hendak engkau tanyakan itu”, tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: “Siapakah diantara kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah, beliau dengan tenangnya menjawab: “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul”. Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda:
“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridla Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya”.
Betapa tinggi nilai ikhlas dalam amal perbuatan seseorang, sampai Rasulullah menyebutkan sebagai salah satu syarat ahli surga. Posisi ikhlas dalam Islam memang sangat penting, karena ikhlas dianggap sebagai ukuran amal seseorang. Allah SWT berfirman:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al Bayyinah: 5)
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan ? (An-Nisa’: 125)
Sekarang marilah kita ber-muhasabah dan menilai diri kita sendiri, “Sudahkah kita ikhlas dalam setiap amal perbuatan kita ?”
Ikhlas ditinjau dari sisi lughawi berasal dari kholusho, yaitu kata kerja intransitif yang artinya bersih dan murni, atau bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). Selanjutnya setelah mengalami penambahan huruf menjadi akhlasho maka kata itu berubah menjadi transitif yang berarti membersihkan atau memurnikan. Menurut Imam Al Ghazali ikhlas memiliki lawan kata isyrak (menyekutukan). Jadi siapa yang tidak ikhlas dalam beramal, sebenarnya telah berbuat syirik, tentu saja tergantung tingkatan dari syirik tersebut.
Ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati, dan tempatnya adalah hati, sehingga ikhlas berkenaan dengan tujuan dan niat seseorang. Secara umum banyak ulama mengatakan bahwa amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Bahwasanya amalan hati merupakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah dan rasulNya, bertawakal kepada Allah, ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah, bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya, dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib”. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa: “Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna”.
Pada hakekatnya, niat adalah sesuatu yang mengacu kepada berbagai respon berbagai hal yang membangkitkan. Apabila faktor pembangkitnya hanya satu, maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan, yaitu Allah. Siapa yang tujuannya semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah maka dia disebut orang yang mukhlish.
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). (Az-Zumar: 2-3)
Apabila faktor pembangkit tersebut ada dua atau lebih, maka sudah bisa dikategorikan bahwa tanda-tanda tidak ikhlas telah muncul ke dalam hati kita. Faktor pembangkit lain dalam amal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
1.Riya’, yang berarti memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
2.Sum’ah, yang berarti beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
3.Ujub, masih termasuk kategori riya’, hanya saja Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: Riya’ masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri.
Kalau kita mau jujur, ikhlas dalam amal adalah sesuatu yang cukup sulit kita lakukan, dan perlu usaha terus menerus untuk melatih, dan mengevaluasinya secara terus menerus. Riya’, sum’ah dan ujub adalah penyakit hati yang bukan monopoli umat Islam secara umum. Seseorang mujahid yang pergi jihad, ataupun seorang da’i (ustadz) yang pergi berdakwah pun harus selalu membersihkan diri supaya terhindar dari penyakit hati ini. Da’i atau ustadz yang pergi berdakwah bisa rusak keikhlasannya dalam tiga keadaan waktu:
1.Rusak di awal. Ketidakikhlasan pada awal ialah berniat ingin popular, terkenal, mencari uang semata, untuk menghantam orang lain, dsb. Apabila semua ini terlintas di hati, maka seluruh amalannya itu tertolak, ibaratnya bagaikan kita melukis di atas air. Tidak ada pahala amalan tersebut untuk kita.
2.Rusak di tengah. Contohnya semasa sedang ceramah melihat orang ramai mengangguk-angguk dan begitu khusyuk mendengar, maka merasa diri hebat (ujub). Ibaratnya bagaikan kita membangun rumah yang tidak pernah jadi-jadi, karena gangguan di sana dan disini.
3.Rusak di akhir. Selepas ceramah, dalam perjalanan pulang ada orang yang memuji, maka hati menjadi berkembang-kembang. Pada waktu itulah sifat ujub datang, dan kita lupa bahwa semuanya adalah dari Allah, dan lupa bahwa kita beramal adalah untuk Allah semata. Ibaratnya rumah yang sudah dibangun dan bentuknya sangat indah, tiba-tiba runtuh rata dengan tanah.
Dalam suatu hadits dinyatakan, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut, akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. Na’udzu billah min dzalik.
Sekali lagi sebelum terlambat segala sesuatunya, sebelum datang keputusan akhir dari Allah kepada kita, dan sebelum akhirnya kita dihisab oleh Allah, marilah kita menghisab diri dan hati kita, “Ikhlaskah saya dalam beramal ?”

ETIKA MEMBERI SALAM

oleh
Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan
_______________________________________________________________________
Makruh memberi salam dengan ucapan: “Alaikumus salam” karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka aku berkata: “Alaikas salam ya Rasulallah”. Nabi menjawab: “Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam”. Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: “karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati”. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali” (HR. Al-Bukhari).
Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq’alaih.
Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya: “dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun”.(HR. Muslim).
Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:
” Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian” (An-Nur: 61)
Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma : “Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin” (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma yang menyebutkan “Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya”. (HR. Muslim)
Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu ‘anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. (Muttafaq’alaih).
Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :” Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani…..” (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan “wa `alaikum” saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum”.(Muttafaq’alaih).
Disunnatkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu ‘anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal”. (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : “`alaika wa `ala abikas salam”
Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan”. (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dibattangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu ‘anhu menyebutkan: “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya….” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak”. Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: “Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita”. (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).
————–
Etika Kehidupan Muslim Sehari-Hari

Dengan KEKUATAN … raihlah CINTA

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada yang lemah dan (kuat) di dalam setiap hal adalah baik.Bersemangatlah terhadap hal-hal yang dapat memberi manfaat kepadamu, dan mintalah pertolongan kepada Allah, janganlah kamu lemah …”
(Riwayat Muslim)
Setiap mukmin itu baik, namun yang kuat memiliki keutamaan dibandingkan yang lemah. Bila ada yang kuat tentu ada yang lemah. Kedua sifat ini selalu ada dan berpasangan dalam kehidupan. Demikian pula pada komunitas masyarakat beriman. Di dalamnya akan ditemukan keberadaan mukmin yang kuat dan lemah. Yang jadi pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan mukmin yang kuat itu ? Mukmin yang kuat adalah seorang mukmin yang mampu menunaikan beragam cabang iman, menyempurnakan pribadinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Serta menyempurnakan orang lain dengan cara menasehati mereka dalam kebajikan dan kesabaran.
Ilmu yang Bermanfaat
Mukmin yang kuat adalah mukmin yang bersemayam dalam dirinya ilmu yang nafi’ (bermanfaat). Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mampu menjernihkan jiwa dan ruh, serta mengantarkan pemiliknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu ini terutama ilmu syar’i, seperti ilmu tentang aqidah, fiqih, atau bahasa arab. Ilmu – ilmu lain, selama tidak ada aturan agama yang melarangnya dan bermanfaat juga sudah sepantasnya dipelajari. Seperti ilmu-ilmu sains teknik untuk kemaslahatan umat, mempelajari bahasa Inggris untuk berdakwah dsb.
Keajaiban ilmu itu sendiri sudah tidak diingkari lagi. Seorang mukmin yang berilmu akan lebih memiliki rasa takut kepada Allah dibandingkan orang yang kurang berilmu. Perbendaharaan rasa takut ini akan mendorong seseorang untuk menjadi tangguh dalam menjalankan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”
(QS. Fathir : 28)
Amalan
Selain membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, serang mukmin yang kuat adalah melengkapi pribadinya dengan ilmu amal shalih. Amal merupakan buah yang indah dari ilmu. Ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak diamalkan. Menyampaikan ilmu merupakan sebab paling utama yang membantu tersampaikannya hikmah ke dalam hati secara langsung. Sebaliknya tidak mau mempraktekan ilmu, akan sangat berbahaya. Orang-orang Yahudi menjadi kafir karena tidak mau mengamalkan ilmu yang telah mereka ketahui. Mereka faham kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Golongan ini disebut sebagai almaghdub alias dimurkai Allah Swt. Sebaliknya orang-orang Nasrahani menjadi sesat karena mereka beramal tanpa punya landasan ilmu.
Nah berbeda dengan umat islam, umat yang pertengahan diantara kedua golongan tadi. Umat islam merupakan umat yang mengusung ilmu dan amal sekaligus. Para ulama salaf telah banyak berwasiat tentang masalah mengamalkan ilmu, yang patut kita jadikan pelajaran. Ibnu Mas’ud, seorang shahabat Nabi, menyatakan,
“Belajarlah, selanjutnya siapa yang telah berilmu hendaknya ia mengamalkannya.”
Shahabat Abu Darda’ juga pernah mengatakan,
“Anda tidak akan menjadi orang yang berilmu sebelum anda mengamalkan ilmu yang anda telah ketahui.”
Ali bin Abi Tholib memiliki nasehat emas yang patut untuk dicermati,
“Wahai para penyandang ilmu, amalkanlah ilmu. Sesungguhnya yang dinamakan orang yang berilmu adalah orang yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya dan amalannya sesuai dengan ilmunya,” tutur beliau.
“Kelak ada suatu kaum yang membawa ilmu, tetapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Batinnya berbeda dengan lahirnya dan amalnya tidak sesuai dengan ilmunya. Mereka duduk melingkar berkelompok-kelompok dan saling membanggakan satu dengan yang lain, sampai-sampai ada di antara mereka yang marah kepada teman duduknya ketika temannya itu duduk dan bermajelis dengan orang lain dan meninggalkan dirinya. Amalan-amalan mereka di majelis-majelis itu tidak akan bisa naik menuju Allah Swt,” lanjut Khalifah keempat umat Islam itu.
Menasehati Orang Lain
Ini bentuk kekuatan seorang mukmin. Ia tidak membatasi hidayah yang diterimanya dari Allah untuk dirinya sendiri. Namun ia mengajak orang lain mendapatkan hidayah sebagaimana dirinya. Orang yang memiliki karakter ini benar-benar pilihan Allah, dan mengikuti jalan orang-orang yang dicintai Allah, yaitu para rasul. Sebagaimana disampaikan dalam Al Qur’an,
“Katakanlah : “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musrik.”
(QS. Yusuf:108)
Menasehati dalam hal kebaikan dan kesabaran merupakan ciri orang –orang yang tidak mendapatkan kerugian di akhirat. Siapapun yang berdakwah dan menasehati tentu ingin agar penyampaiannya diterima dan berhasil. Nah berdakwah dengan memberikan keteladanan lebih cepat memberikan pengaruh dan daya tarik tersendiri. Malik bin Dinar, seorang ulama salaf berkata :
“Seorang alim, jika tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan lewat begitu saja dari hari manusia sebagaimana tetes air hujan yang lewat begitu saja jika jatuh menimpa batu besar.”
Nasehat yang keluar dari lubuk hati terdalam akan merasuk ke dalam hati dan mudah diterima oleh objek dakwah, sebagaimana perkataan Ziyad bin Abi Sufyan,
“Jika ucapan itu keluar dari lubuk hati yang paling dalam, pasti akan mampu menembus ke dalam hati, tetapi jika hanya keluar dari mulut saja, maka tidak akan bisa melewati telinga sekalipun.”
Raihlah kekuatan, temukan cinta-Nya.Wallahu’alam bishowwab.
*) Ditulis ulang dengan sedikit perubahan redaksonal dari Majalah elFata edisi 1 vol 7 thn 2007 (tersedia di Perpustakaan KMFM )
Ditulis oleh:
Ibnul Qosim

Cinta karena Allah

Kehidupan ini rasanya tak pernah dapat dilepaskan dari apa yang dinamakan ‘cinta’. Dengannya menjadi semarak dan indah dunia ini. Lihat saja, bagaimana seorang bapak begitu bersemangat dalam beraktivitas mencari nafkah, tak lain karena dorongan cintanya terhadap anak dan isterinya. Seorang yang lain pun begitu semangatnya menumpuk harta kekayaan, karena sebuah dorongan cinta terhadap harta benda, demikian pula mereka yang cinta kepada kedudukan, akan begitu semangat meraih cintanya.
Itu semua adalah beberapa contoh dari berjuta cinta yang ada. Meskipun kesan yang banyak dipahami orang tentang cinta, identik dengan apa yang terjadi antara seorang pemudi dan pemuda. Padahal cinta tak hanya sebatas itu saja.
Ternyata masalah cinta memang tidak sederhana. Ada cinta yang bernilai agung lagi utama, namun ada pula cinta yang haram dan tercela. Cinta sendiri kalau dilihat menurut islam, maka dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk. Kita semestinya tahu tentang model cinta tersebut untuk kemudian mampu memilih mana cinta yang mesti kita lekatkan di hati, mana pula cinta yang mesti kita tinggalkan sejauh-jauhnya.
Cinta kepada Allah
Cinta model ini adalah cinta yang paling utama. Bahkan kata ulama kita, cinta kepada Allah adalah pokok dari iman dan tauhid seorang hamba. Karena memang Allah sajalah satu-satunya dzat yang patut diberikan rasa cinta.
Segala cinta, kalau kita buat peringkat maka nyatalah bahwa cinta kepada Allah adalah puncaknya. Ia adalah yang tertinggi, paling agung dan paling bermanfaat. Begitu bermanfaat cinta kepada Allah ini, sehingga tangga-tangga menuju kepadanya pun merupakan hal-hal yang bermanfaat pula. Diantaranya berupa taubat, sabar dan zuhud. Apabila cinta diibaratkan sebuah pohon maka ia pun akan menghasilkan buah-buah yang bermanfaat seperti rasa rindu dan ridha kepada Allah.
Mengapa kita mesti cinta kepada Allah ? banyak sekali alasannnya. Diantaranya adalah karena Allah lah yang memberikan nikmat kepada kita, bahkan segala nikmat. Sedangkan hati seorang hamba tercipta untuk mencinta orang yang memberikan kebaikan kepadanya. Kalau demikian, sungguh sangat pantas apabila seorang hamba cinta kepada Allah, karena Dialah yang memberikan semua kebaikan kepada hamba.
“Dan apa-apa nikmat yang ada pada kalian , maka itu semua dari Allah”
(QS Al Baqarah : 165)
Seorang hamba di setiap pagi dan petang, siang dan malam selalu berdoa, memohon dan meminta pertolongan kepada Allah. Dari doa tersebut kemudian Allah memberikan jawaban, menghindarkan hamba dari bahaya, memenuhi kebutuhan hamba tadi. Keterikatan ini mendorong hati untuk mencinta kepada dzat tempat ia bermohon.
Setiap insan pun tak lepas dari dosa dan kesalahan, maka Allah selalu membuka pintu taubat kepada hamba tadi, bahkan Allah tetap memberikan rahmah meski hamba kadang tidak menyayangi dirinya sendiri. Kebaikan-kebaikan yang dibuat hamba, tak ada sesuatu pun yang mampu diharap untuk memberi balasan dan pahala kecuali Allah semata.
Terlebih lagi, Allah telah menciptakan hamba, dari sesuatu yang tak ada menjadi ada. Tumbuh, berkembang dengan rizki dari Allah Ta’ala. Maka ini menjadi alasan kenapa hamba semestinya cinta kepada Allah.
Cinta memang menuntut bukti. Tak hanya sekedar ucapan, seperti pepatah orang arab ’semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila namun si Laila tak pernah mengakuinya’. Dan wujud cinta ilahi dibuktikan dengan
“Katakanlah apabila kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Rasulullah) maka Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” (QS Ali Imran : 31)
mengikuti sunah nabi dan juga berjihad di jalan Allah Ta’ala.
Cinta karena Allah / cinta di jalan Allah
Cinta karena Allah tentu saja mengikuti cinta yang pertama. Seperti dalam kehidupan, ketika kita cinta kepada seseorang maka apa yang dicintai oleh orang yang kita cinta pun kita sukai pula. Cinta karena Allah adalah cinta kepada ‘person’ yang dicinta Allah seperti para nabi, rasul para sahabat nabi dan orang-orang shalih. Cinta karena Allah jua berujud cinta kepada perbuatan shalih seperti shalat, puasa zakat, berbakti kepada orang tua, memuliakan tetangga, berakhlaq mulia, menuntut ilmu syar’i dan segala perbuatan baik yang lain. Dengan demikian, ketika seoarng muslim mencinta seseorang atau perbuatan maka ia punya sebuah barometer “apakah hadir pada perbuatan maupun orang tadi hal yang dicinta Allah”. Bagaimana kita tahu kalau suatu perbuatan dicinta Allah? Jawabnya adalah, apabila Allah perintahkan atau diperintahkan Rasulullah berupa hal yang wajib maupun yang sunnah(mustahab).
Cinta yang disyariatkan diantaranya adalah cinta kepada saudara seiman
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari dan Muslim)
Cinta ini bermanfaat bagi pelakunya sehingga mereka layak mendapatkan perlindungan Allah di hari tiada perlindungan kecuali perlindungan Allah saja.
Cinta bersama Allah
Kecintaan ketiga ini adalah cinta yang terlarang. Cinta bersama Allah berarti mencintai sesuatu selain Allah bersama kecintaan kepada Allah. Membagi cinta, adalah model cinta yang ketiga ini. Kecintaan ini hanyalah milik orang-orang musyrik yang mencintai sesembahan-sesembahan mereka bersama cinta kepada Allah. Seperti firman Allah:
“Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan, yang mereka mencintai tandingan tadi sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat besar cinta mereka kepada Allah “
(QS Al Baqarah : 165)
Kecintaan ini bisa ditujukan kepada pohon, berhala, bintang, matahari, patung , malaikat, rasul dan para wali apabila kesemuanya dijadikan sesembahan selain Allah.
Terus bagaimana cinta kita kepada anak, harta, pakaian, nikah dan kepada hal yang berhubungan dunia ? Cinta yang seperti ini adalah cinta yang disebut sebagai “cinta thabi’i” cinta yang sesuai dengan tabiat artinya wajar-wajar saja. Apabila mengikuti kecintaan kepada Allah, mendorong kepada ketaatan maka ia bermuatan ibadah. Sebaliknya bila mendorong kepada kemaksiatan maka ia adalah cinta yang tercela dan terlarang.

Indahnya Cinta: Cinta Karena Allah

Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil `Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba`in An-Nawawiyah).

(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”

Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i.

“..hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”

Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta`ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”

Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”

Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

ألْمُؤْمِنُ كَالْجَسَدِ الْوَاحِدُ إذَا اشْكَتَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ والْحُمَّى

“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)

“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”

Wahai saudariku –semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:

لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ(8) وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(9)

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul `alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta`aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta`aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.

Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta`ala berfirman:

فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)

Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.

Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah

الدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُشآدَّ الدِّيْنُ أحَدٌ إلاَّ غَلَبَهُ . رواه البخاري

Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…

Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا أوَلاَ أدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٌ إذًا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ . رواه مسلم

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do`a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu `alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo`akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do`a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do`a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…

Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat

Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum`at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi ”majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.

Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis `Ilmu

Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum`at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”

Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan

Suatu saat `Umar radhiyallahu `anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa `Umar radhiyallahu `anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu `Umar radhiyallahu `anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.

Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka

Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta`ala.

Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…

Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta`ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?

Janji Allah Ta`Ala Pasti Benar !

Saudariku muslimah –semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.

أنَّ اللهَ يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةَ أيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ الْيَوْمَ أظَلَّهُمْ فِيْ ظِلِّيْ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إلاَّ ظِلِّيْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)

سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِيْ عَنْ رَبِّهِ يَقُوْلُ الْمُتَحَابُّوْنَ فِيْ اللهِ عَلَى مُنَابِرِ مِنْ نُوْرٍ فِيْ ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلِّ إلاَّ ظِلِّهِ قَالَ فَخَرَجْتَ حَتَّى لَقَيْتَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ فَذَكَرْتَ لَهُ حَدِيْثِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ حَقَّتْ مَحَبَّتِيْ لِلْمُتَحَابِّيْنَ فِي وَحَقَّتْ مَحَبَّتَِيْ لِلْمُتَبَاذِلِيْنَ فِي وَحَقَّتْ مَحَبَّتِيْ لِلْمُتَزَاوِرِيْنَ فِي وَالْمُتَحَابُّوْنَ فِي اللهِ عَلَى مُنَابِرِ مِنْ نُوْرٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلِّ إلاَّ ظِلِّهِ

Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu `anhu dari Mu`adz bin Jabal radhiyallahu `anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan `Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”

Abu Muslim radhiyallahu `anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu `Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu`adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, `Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, `Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.` Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan `Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)

سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ألْمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِي لَهُمْ مُنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ يُغْبِطُهُمُ النَّبِيُّوْنَ وَالشُّهَدَاءُ

Dari Mu`adz bin Jabal radhiyallahu `anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, `Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)

Alhamdulillahilladzi bini`matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do`a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta`aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta`aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul `alamin sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A`laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…

Maroji’:
Terjemah Syarah Hadits Arba`in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil `Ied
Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-`Adawi
Sunan Tirmidzi

courtesy of www.muslimah.or.id

Bertumpu Harap Hanya pada Allah

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, kalau ada masalah besar yang kerapkali melanda dan bergejolak di dalam diri manusia, maka itu urusan mengenal Tuhan Penciptanya dan lalu berusaha meyakini hanya Penciptanyalah yang hanya dapat menolong mengeluarkannya dari dari segala himpitan kesulitan dan masalah sesulit dan seberat apapun.

Bahkan bagi seseorang yang mengaku Muslim sekalipun, tetap saja msalah satu ini merupakan sesuatu yang gampang-gampang susah untuk dicarikan jalan keluarnya, kecuali bagi siapapun yang bersunguh-sungguh memahami keberadaan dirinya dalam naungan cahaya Islam.

Manakala kita suatu ketika merasa aman dengan uang yang tersimpan di dalam dompet atau bank, misalnya, maka sebenaarnya ketika itulah kita melupakan satu hal yang amat mendasar, yakni bahwa jaminan pertolongan Allah Azza wa Jalla jauh melampaui apapun di dunia ini.

Uang di dompet bisa tiba-tiba lenyap dicopet orang dan bank tempat kita menyipan uang sewaktu-waktu dan tanpa disangka-sangka bisa jatuh bangkrut seketika bila Allah menghendaki.

Bila terjadi demikian, lalu dimanakah rasa aman yang tadi begitu dinikmati itu, kecuali segera berganti dengan rasa cemas yang meremas-remas qalbu, bahkan bukan tidak mungkin akan berujung kepada keputusasaan?

Biasanya barulah Allah yang dijadi tumpuan harapan bila segala hal yang semula dianggap bisa menolong justeru tidak lagi mempunyai daya apa-apa. Akan tetapi, itu pun masih dihadapkan pada bagaimana cara memohon pertolongan-Nya tersebut.

Betapa manusia itu pada akhirnya akan amat berharap ditolong oleh Penciptanya manakala ia dihadapkan pada suatu masalah yang jelas-jelas hal-hal lain di luar Dia tidak lagi bisa menolong.

Diantara sekian banyak faktor penyebab seseorang disadari atau tidak, memandang remeh pertolongan Allah, atau kalaupun pada akhirnya ia amat membutuhkan pertolongan-Nya. Wallahu 'Alam.

MENGGAPAI RIDHA ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat 36:

“Artinya : Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa' : 36]

Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

“Artinya : Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.

ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).

Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA
[1]. Merupakan Amal Yang Paling Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

“Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]

[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

“Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [3]

[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:

“Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]

[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya.” [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.

BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
[10]. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
[1]. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita

[2]. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.

[3]. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (som-bong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.

[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.

[5 ]. Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.

APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
[2]. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim (IV/151-152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad (no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari (IV/449), Muslim (no. 2743), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no. 2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.

Berbakti kepada orang tua


Ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berjasa kepada kita. Lewat keduanyalah kita terlahir di dunia ini. Keduanya menjadi sebab seorang anak bisa mencapai Surga. Do’a mereka ampuh. Kutukannya juga manjur. Namun betapa banyak sekarang ini kita jumpai anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Panti jompo menjamur di mana-mana, ini menunjukkan tidak mengertinya sang anak akan 'harga' kedua orang tua. Mereka titipkan kedua orang tuanya di sana dalam keadaan sengsara dan kesepian melewati masa-masa tuanya, sementara mereka bersenang-senang di rumah mewah. Kejadian seperti ini juga akibat kesalahan orang tua yang tidak memberikan pendidikan agama kepada anaknya.
Nash yang berbicara tentang perintah dan anjuran berbuat baik kepada kedua orang tua :
Dari Al Qur’anul Karim
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua … .” (An Nisa’ : 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : “Kemudian (setelah menyuruh bertauhid, pent.) Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Karena Allah menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah menggandengkan perintah beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua.”
Katakanlah : “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Rabb kalian, yaitu janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Dia dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.” (Al An’am : 151)
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al Isra’ : 23-24)
“Dan Kami wajibkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kalian kembali lalu Aku khabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (Al Ankabut : 8)
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan-Nya itu adalah kedhaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah kalian kembali maka Ku-beritahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. (Luqman : 13-15)
Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia dewasa dan umurnya telah sampai empat puluh tahun, ia berdoa : “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri.” Mereka inilah orang-orang yang Kami terima dari mereka amalan yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka bersama penghuni-penghuni Surga sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al Ahqaf : 15-16)
Ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang agung di atas memberikan pelajaran kepada kita betapa besarnya kedudukan kedua orang tua. Kita wajib mematuhi keduanya selama keduanya menyuruh kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah.
Dari Hadits-Hadits Khairul Anam (Rasulullah, ed.) Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radliyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ridla Allah terletak pada ridla orang tua. Dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi 1899, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash berkata : Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian dia meminta ijin kepada beliau untuk berjihad. Maka beliau bersabda : “Apakah kedua orang tuamu masih ada?” Orang itu berkata : “Ya!” Beliau bersabda :
“Maka kepada keduanya, berjihadlah engkau.” (HR. Bukhari nomor 5972 dan Muslim nomor 2549)
Masih dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ia berkata : Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian berkata : “Aku datang untuk berbaiat kepadamu untuk hijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Mendengar hal itu, Nabi bersabda :
“Kembalilah engkau kepada keduanya. Maka buatlah keduanya tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuatnya menangis.” (HR. Abu Dawud nomor 2528 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud nomor 2205)
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, ia berkata : Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku sikapi dengan baik?” Beliau bersabda : “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau menjawab : “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau menjawab : “Ibumu.” Lalu orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau berkata : “Ayahmu.” (HR. Bukhari nomor 5971 dan Muslim nomor 2548)
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Seorang anak tidak bisa membalas kebaikan orang tuanya kecuali jika dia mendapati orang tuanya sebagai budak, kemudian ia beli dan membebaskannya.” (HR. Muslim nomor 1510)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Amalan apakah yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab : “Shalat tepat pada waktunya.” Aku katakan : “Kemudian apa?” Beliau menjawab : “Birrul Walidain (berbuat baik kepada orang tua).” Aku katakan : “Lalu apa?” Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari nomor 5970 dan Muslim nomor 139)
‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Semoga terhina, semoga terhina, semoga terhina, orang yang mendapati kedua orang tuanya telah tua salah satunya atau keduanya tapi dia tidak bisa masuk Surga (karena keduanya, pent.).” (HR. Muslim nomor 2551)
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendoakan orang seperti itu agar terhina, maka bagaimana lagi kalau Nabi sudah berdoa?
Hadits-Hadits Yang Melarang Berbuat Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tiga orang yang tidak akan dilihat Allah di hari kiamat adalah orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayyuts (pria yang membiarkan istrinya bermaksiat). Dan tiga jenis orang yang tidak masuk Surga adalah orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, peminum (pecandu) khamr, dan pengungkit-ungkit pemberian bila diberi.” (Lihat Shahihul Jami’ nomor 3066 dan Ash Shahihah nomor 674)
Dari Mughirah bin Syu’bah radliyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak mau menunaikan yang wajib, dan mengambil yang bukan haknya dari barang milik orang lain.” (HR. Bukhari nomor 5975 dan Muslim nomor 539)
Abu Bakrah menceritakan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya sampai tiga kali). Maka kami berkata : “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau bersandar kemudian duduk sambil berkata : “Ketahuilah begitu juga dengan ucapan dusta dan saksi dusta.” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami berkata : “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari nomor 2653 dan Muslim nomor 87)
Dari Muadz bin Jabbal radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberiku sepuluh wasiat, beliau bersabda : “Janganlah engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun walau engkau dibunuh dan dibakar hidup-hidup, jangan sekali-kali engkau durhaka kepada kedua orang tuamu walau keduanya menyuruhmu keluar dari keluargamu dan hartamu … .” (HR. Ahmad, dihasankan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihut Targhib nomor 567)
Contoh Dari Para Nabi
Ketika menuju Hudaibiyah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melewati daerah bernama Abwa’ yang di tempat itu ibunya dikuburkan. Saat itu beliau ditemani oleh para shahabat dan pasukan yang berjumlah seribu penunggang kuda berbaju besi. Maka beliau menyempatkan ziarah ke kubur ibunya dan menangis sehingga para shahabat di sekitar beliau ikut menangis. Beliau bersabda :
“Aku meminta ijin kepada Rabbku agar diperbolehkan memohonkan ampun untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengijinkan. Dan aku meminta ijin untuk menziarahinya dan diijinkan. Maka ziarahilah kubur karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim nomor 976 dan Abu Dawud nomor 3234 dan lain-lain)
Subhanallah, rasa kasih dan sayang Nabi kita Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam muncul ketika melewati tempat dikuburnya sang ibu yang wafat pada saat usia beliau masih kanak-kanak, empat tahun. Oleh karena itu beliau menangis. Dan tangis beliau membuat seribu pasukan ikut menangis. (Dari kitab Wabil Walidaini Ihsana, karya Su’ad Muhammad halaman 32)
Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, bapaknya para Nabi begitu lemah lembut menasehati dan mendakwahi ayahnya kepada hidayah walau sang ayah telah menyakitinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan ucapan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam kepada ayahnya :
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang padaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku. Niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam : 43)
“Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan bagi syaithan.” (Maryam : 45)
Kata ‘ya abati’ adalah kata yang paling tinggi dalam penghormatan kepada ayah. Dan dengan kata ini, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berbicara dengan ayahnya.
Mengapa Engkau Menyembunyikan Kebaikan?
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah sikap yang mulia. Keutamaan keduanya telah lewat keterangannya. Ingatlah ketika engkau lemah.
Wahai Rabbku! Rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah menyayangiku di waktu kecil.
Ibumu telah mengandungmu di perutnya selama sembilan bulan dalam penderitaan yang berganda. Ia mengandungmu dalam keadaan susah dan melahirkanmu dalam keadaan payah. Umurmu yang bertambah semakin menambah berat baginya. Ketika melahirkanmu seakan-akan kematian ada di depan matanya. Tapi ketika dia melihatmu di sisinya, sirnalah dengan cepat semua rasa sakit dan susahnya. Ia gantungkan padamu semua harapannya … . Ia melihat padamu ada cahaya hidup dan keindahannya … .
Kemudian ibumu sibuk melayanimu siang malam. Ia korbankan kesehatannya untukmu. Air susunya menjadi makananmu … . Pelukannya menjadi rumahmu. Tangan, punggung, dan dadanya menjadi tempat tungganganmu. Ia menjaga dan mengawasimu. Ia rela lapar asal engkau kenyang. Rela begadang asal engkau tidur. Ia sangat cinta dan sayang padamu.
Jika ia hilang darimu, engkau memanggilnya. Jika kau tertimpa sesuatu yang menyusahkan, kau minta tolong padanya. Dalam anggapanmu, setiap kebaikan ada padanya. Engkau anggap bahaya tidak akan menimpamu jika engkau dalam pelukannya atau kalau ia memperhatikanmu.
Adapun ayahmu, karena kamu, ia menjadi penakut dan kikir. Ia berusaha untukmu. Agar engkau tidak tersakiti, ia berpindah-pindah bepergian jauh. Ia tempuh daerah datar dan tinggi sambil menghadapi bahaya. Hanya untuk mencari sesuap nasi kehidupan untuk diberikan padamu. Ia merawat dan mendidikmu. Jika engkau datang padanya, engkau merasa senang dan ia pun senang. Jika ia keluar, engkau merasa bergantung padanya. Jika ia pulang, engkau peluk pinggangnya dengan erat … . Kau takut-takuti orang dengan ayahmu. Dan kau ancam mereka dengan perbuataan ayahmu … .
Itulah mereka berdua dan itu masa bayi dan kecilmu, maka mengapa engkau enggan berbuat baik? Mengapa engkau jadi kaku dan kasar? Seakan-akan hanya engkau yang diberi nikmat.
Sesungguhnya perangai yang jahat dan kecelakaan serta kerugian kalau orang tua dikejutkan dengan perbuatan anak yang enggan berbuat baik kepada mereka. Keduanya telah berbuat baik, tapi orang yang celaka ini pura-pura lupa kelemahan dan masa kecilnya. Dia merasa sombong dengan keadaan dan keahliannya. Dia tertipu dengan ilmu dan wawasannya. Menyombongkan wibawa dan kedudukannya. Dia menyakiti ibunya dengan kata-kata yang pedas dan gerutu. Menyikapi keduanya dengan jelek dan dengan ucapan yang keji. Dia bentak dan hardik keduanya. Bahkan kadang-kadang dia tega menampar dan menendang keduanya. Keduanya berharap sang anak hidup, tapi sang anak berharap keduanya cepat mati. Seakan-akan keduanya berharap jadi pasangan yang mandul saja dulunya.
Rasa Hormat Menangisi Keduanya
Hai orang yang celaka! Bukankah kalau telah tua keduanya butuh kepadamu? Tapi kau sia-siakan mereka?! Kau lebih mendahulukan yang lain dari keduanya dalam berbuat baik. Dan kau lupakan keduanya … . Apakah kau tidak tahu bahwa orang yang berbuat baik kepada kedua orang tua nantinya akan ditaati oleh anaknya? Dan sebaliknya kalau dia durhaka kepada kedua orang tuanya, anaknya nanti juga akan durhaka kepadanya. Kau juga nantinya akan butuh kepada kebaikan anak-anakmu. Dan mereka akan memperlakukanmu seperti perlakuanmu kepada kedua orang tuamu. Sebagaimana engkau bersikap, demikian juga engkau disikapi. Dan balasan itu karena amalan. (Dinukil dari Wabil Walidaini Ihsana halaman 37-39)
Dikisahkan, suatu hari ada seorang ayah yang tua diajak pergi ke sebuah lembah oleh anaknya. Ketika sampai di lembah sunyi itu, sang anak berkata : “Wahai ayah, aku akan menyembelihmu di sini.” (Subhanallah, anak menyembelih anaknya!!) Maka sang ayah berkata : “Wahai anakku, sebelum engkau menyembelihku, kuberitahukan kepadamu bahwa dulu aku pernah menyembelih ayahku di sini!” (Dinukil dari kaset Hakadza ‘Allamatnil Hayah)
Memang … .
“Bagaimana engkau bersikap, demikian engkau akan disikapi.”
Beberapa Contoh Dari Para Salaf
Ibnul Munkadir berkata : “Saudaraku ‘Umar menghabiskan malamnya dengan shalat, tapi aku menghabiskan malamku dengan mengurut kaki ibuku. Dan malamku dengan seperti itu lebih aku sukai dari malam saudaraku itu.” (Dari kitab Siyar A’lamin Nubala’ 5/405)
Ibnul Hasan At Tamimi ingin membunuh seekor kalajengking tapi ternyata hewan itu masuk ke lubang. Maka Ibnul Hasan memasukkan jarinya ke lubang itu untuk membunuhnya, akhirnya dia disengat. Maka ada yang bertanya kepadanya. Dia menjawab : “Aku takut kalau hewan itu keluar dan menyengat ibuku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 541)
Ibnu ‘Aun Al Muzani pernah dipanggil ibunya maka suaranya mengalahkan suara ibunya (lebih tinggi). Karena perbuatan tersebut, dia membebaskan dua budak. Qurrah bin Khal berkata : “Kami ketika itu kagum kepada sifat wara’-nya Muhammad bin Sirrin, maka perbuatan Ibnu ‘Aun membuat kami lupa kepadanya.” (Tahdzib Siyar A’lamin Nubala’ 544)
‘Abdullah bin Ja’far bin Khaqun Al Marwadzi berkata : “Aku hendak keluar (setelah mengumpulkan hadits Bashrah) namun ibuku melarangku. Maka aku taat padanya sehingga aku diberkahi karenanya.” (Siyar A’lamin Nubala’ 12/145)
Kata Ja’far Al Khalidi, Abbar adalah seorang ulama hadits di Baghdad dan dia seorang yang zuhud. Suatu saat dia meminta ijin kepada ibunya untuk rihlah (safar menuntut ilmu) ke Qutaibah. Tapi sang ibu tidak mengijinkannya. Kemudian ibunya wafat. Maka mereka mengunjunginya karena itu. Ia berkata : “Ini buah ilmu, yaitu aku memilih ridla ibuku.” (Siyar A’lamin Nubala’ 13/443)
Ibnul Jauzi berkata : “Sampai kepada kami cerita tentang ‘Umar bin Dzarr. Ketika anaknya wafat, ada yang bertanya kepadanya : “Bagaimana bakti anak itu padamu?” Dia menjawab : “Kalau di siang hari, dia selalu jalan di belakangku. Dan kalau malam hari dia selalu jalan di depanku. Dia tidak pernah tidur di tempat yang lebih tinggi dariku.”
Abu Hurairah, jika keluar dari rumahnya selalu berhenti di depan pintu ibunya sambil berkata : “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku!” Dan ibunya menjawab : “Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku!” Abu Hurairah lalu berkata : “Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil.” Maka ibunya berkata : “Semoga Allah juga menyayangimu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku di masa tuaku.”
Anas bin An Nadhr berkata : “Ibunya Ibnu Mas’ud meminta air kepadanya di sebagian malam, maka ketika dia datang membawa air dia dapati ibunya telah tidur. Maka dia tetap memegang air di arah kepalanya sampai pagi.”
Al Hasan bin ‘Ali tidak mau makan bersama ibunya. Dan dia adalah orang yang paling baik kepada ibunya. Ketika ada yang menanyakan kepadanya tentang hal itu, dia menjawab : “Aku khawatir kalau aku makan dengan ibuku karena aku tak tahu kalau sampai aku memakan makanan yang disukainya.” (Dinukil dari kitab Birul Walidain Ibnul Jauzi halaman 53-55 dan Wabil Walidaini Ihsana halaman 40-43)
Antara Orang Tua Dan Istri
Sering kita dengar seorang pria tertipu hingga dia menganggap istrinya sebagai tempat akhir pemuliaan, sementara itu dia meremehkan ibunya dan dia memandang ibunya dengan pandangan permusuhan.
Karena ikatan anak dengan kedua orang tua adalah ikatan darah, nyawa, cinta, dan keturunan. Sedangkan ikatan dengan istrinya hanya ikatan cinta, kasih, dan sayang, maka janganlah dia lebih mementingkan istrinya dan mengabaikan kedua orang tuanya. Dia wajib berusaha sekuat tenaga untuk menimbulkan sikap saling mengerti. Dan hendaknya sang istri mengalah karena hak kedua orang tua lebih besar dan agung dan agar sang suami tidak terpaksa menceraikannya.
Ada seseorang datang kepada Abu Darda’ radliyallahu 'anhu sambil berkata : “Ayahku terus bersamaku hingga dia menikahkanku. Dan sekarang dia menyuruhku untuk menceraikan istriku.” Abu Darda’ berkata : Aku tidak menyuruhmu untuk durhaka kepada kedua orang tuamu dan tidak menyuruhmu untuk menceraikan istrimu. Kalau kamu mau aku akan beritakan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Beliau pernah bersabda :
“Ayah adalah tonggak dari pintu-pintu Surga. Maka jagalah pintu itu jika kau ingin atau tinggalkan.” (HR. Tirmidzi nomor 1900 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi)
Janganlah seorang lelaki menganggap ucapan istrinya dan khabar-khabar darinya dengan pasti hingga dia menetapkan hukum atasnya. Khususnya kalau ucapan itu mengandung pencelaan kepada seseorang, apakah dalam keluarga atau di luar anggota keluarga. Tapi hendaklah dia meneliti benar atau salah sebelum dia mempercayainya. Dan dia bisa lihat dalam Al Qur’an bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan satu pria, sebagai peringatan dan nasehat. (Wabil Walidaini Ihsana halaman 56-57)
Jika Kedua Orang Tua Telah Tiada
Bila kedua orang tua telah tiada maka kita berbuat baik kepada teman-temannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Siapa yang ingin menyambung hubungannya dengan ayahnya di kubur, hendaklah ia menyambung hubungan dengan teman-teman ayahnya sepeninggalnya.” (Lihat Ash Shahihah nomor 1432)
Ibnu ‘Umar radliyallahu 'anhu berkata : Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian berkata : “Aku telah berdosa besar, maka apakah aku bisa bertaubat?” Beliau bersabda : “Apakah engkau memiliki ibu?” Orang itu menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda lagi : “Apakah engkau masih memiliki bibi (saudara wanita ibu)?” Orang itu menjawab : “Ya.” Lalu Nabi bersabda : “Kepadanyalah engkau berbuat baik.” (HR. Tirmidzi nomor 1905. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah berkata :
“Bibi itu kedudukannya seperti kedudukan ibu.” (HR. Bukhari nomor 4251)
Ibnu Dinar menceritakan bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu 'anhuma bila keluar ke Makkah menunggangi keledai dan memakai sorban di kepalanya. Pada suatu hari ketika dia berada di atas keledainya, ia melewati seorang Arab Badui, maka orang itu berkata kepadanya : “Bukankah engkau fulan anak fulan?” Abdullah bin ‘Umar menjawab : “Benar.” Lalu Ibnu ‘Umar turun dan memberikan keledai dan sorbannya kepada orang itu seraya berkata : “Naikilah keledai ini dan ikatlah kepalamu dengan sorban ini.” Mengetahui kejadian itu, sebagian teman-teman Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Semoga Allah mengampunimu, engkau berikan keledaimu dan sorban di kepalamu kepada orang itu sedangkan engkau membutuhkannya?” Maka ia menjawab : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dicintai ayahnya setelah dia (ayah) wafat.” Dan ayahnya orang Badui ini adalah temannya ‘Umar radliyallahu 'anhu. (HR. Muslim)
Aisyah radliyallahu 'anha berkata : “Aku tidak pernah cemburu kepada para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seperti cemburuku kepada Khadijah, walau tidak pernah sekalipun aku melihatnya. Tapi Nabi sering menyebut-nyebutnya. Kadang beliau menyembelih kambing kemudian mengambil beberapa potong dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Pernah aku berkata kepada Nabi : “Seakan-akan tidak ada di dunia ini kecuali Khadijah!” Maka beliau bersabda : “Dia demikian dan demikian dan aku mendapat anak darinya.” (HR. Bukhari 7/102-103 dan Muslim nomor 2435 dan 2437)
Beberapa Nasihat Tentang Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua
1. Berbicaralah kepada kedua orang tua dengan adab. Dan janganlah engkau membentak keduanya. Dan ucapkanlah perkataan yang mulia.
2. Taatilah kedua orang tuamu selain dalam perkara maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.
3. Berlaku lembutlah kepada keduanya dan janganlah engkau bermuka masam dan jangan melihat dengan marah.
4. Jagalah nama baik, kehormatan, dan harta kedua orang tuamu. Dan jangan engkau mengambil tanpa ijinnya.
5. Lakukanlah apa yang menyenangkan keduanya walau tanpa perintah keduanya, seperti membantu pekerjaan, belanja keperluan, dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
6. Bermusyawarahlah dengan keduanya dalam semua pekerjaanmu dan mintalah maaf kepada mereka kalau kau terpaksa tidak cocok.
7. Penuhi panggilan keduanya dengan cepat disertai wajah penuh senyuman dan berkatalah ‘ya abi’, ‘ya ummi’, dan jangan dengan ‘ya papa’, ‘ya mama’. Karena itu bahasa ajnabi (asing).
8. Muliakan tamu mereka dan kerabat mereka ketika mereka hidup dan setelah wafat.
9. Jangan kau debat dan jangan salah-salahkan mereka dan gunakan adab untuk menerangkan yang benar kepada mereka.
10. Jangan kau lawan mereka. Dan jangan kau tinggikan suaramu melebihi suara mereka. Diamlah kalau mereka berbicara. Beradablah kepada keduanya dan jangan engkau membentak saudara-saudaramu karena menghormati keduanya.
11. Sambutlah kedua orang tuamu kalau mereka datang dan kecuplah kening keduanya.
12. Bantulah ibumu di rumah dan jangan terlambat membantu ayahmu.
13. Jangan kau pergi kalau keduanya tidak mengijinkan walau untuk urusan yang penting. Jika kau terpaksa mintalah udzur kepada mereka. Dan jangan putus dalam menulis surat kepada mereka.
14. Jangan kamu masuk ke dalam kamar keduanya tanpa seijin keduanya, terlebih waktu tidur dan istirahat.
15. Jangan mengambil makanan sebelum mereka. Muliakan mereka dalam makan dan minum.
16. Jangan mendustai keduanya. Jangan engkau cela bila keduanya berbuat yang tidak menyenangkanmu.
17. Jangan kau lebih memuliakan istri dan anak-anakmu melebihi mereka. Mintalah keridlaan mereka dalam segala sesuatu. Karena ridla keduanya adalah juga keridlaan Allah dan kemurkaan keduanya adalah kemurkaan Allah.
18. Jangan engkau membangga-banggakan jabatanmu kepada ayahmu, walau engkau menyandang jabatan yang tinggi. Dan hati-hatilah kalau sampai mengingkari kebaikan keduanya atau menyakiti mereka walau dengan sepatah kata.
19. Jangan bakhil dalam memberi nafkah kepada kedua orang tuamu hingga akibatnya mereka mengadu kepadamu. Ini suatu aib bagimu. Dan itu akan engkau lihat dan alami pada anak-anakmu. Sebagaimana engkau bersikap, seperti itu juga engkau akan disikapi.
20. Sering-seringlah mengunjungi dan memberi hadiah kepada keduanya. Dan berterimakasihlah kepada mereka karena mereka telah mengasuhmu dengan susah payah. Dan contohkanlah itu kepada anak-anakmu.
21. Manusia yang paling berhak untuk engkau utamakan adalah ibumu kemudian ayahmu. Dan ketahuilah bahwa Surga berada di bawah telapak kaki ibu.
22. Hati-hati, jangan sampai engkau durhaka kepada mereka. Dan jangan membuat mereka marah, karena engkau akan celaka di dunia dan di akhirat. Dan anak-anakmu kelak akan menyikapimu seperti sikapmu terhadap orang tuamu.
23. Bila engkau meminta sesuatu kepada mereka mintalah dengan lembut dan berterimakasihlah kalau diberi. Dan mohon maaflah kalau tidak diberi, janganlah banyak meminta agar keduanya tidak merasa susah.
24. Jika kamu mampu mencari rejeki di waktu pagi, kerjalah dan bantulah mereka.
25. Sesungguhnya kedua orang tuamu memiliki hak atasmu. Dan istrimu juga. Berilah setiap yang berhak akan haknya. Usahakan merukunkan keduanya bila berselisih.
26. Jika keduanya bertengkar dengan istrimu, jadilah orang yang bijaksana dan pahamkan istrimu bahwa engkau di pihaknya kalau dia benar dan engkau terpaksa agar keduanya ridla.
27. Jika istrimu berselisih dengan orang tuamu dalam masalah nikah dan talak, maka berhukumlah dengan syariat karena itu sebaik-baik pembantu kalian.
28. Doa orang tua terkabul dalam perkara yang baik maupun yang jelek, maka hati-hatilah terhadap doa jelek mereka.
29. Beradablah terhadap manusia, karena siapa yang mencela manusia, dia juga akan mendapat cela dari mereka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah anak mencela kedua orang tuanya, yaitu dia mencela ayah orang lain, maka orang itu balas mencela ayahnya. Dan dia mencela ibu orang lain, maka orang itu mencela ibunya.” (HR. Bukhari 10/330 dan Muslim nomor 90)
30. Kunjungilah kedua orang tuamu ketika masih hidup. Perbanyaklah berdoa untuk mereka dengan mengucap :
“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Wahai Rabbku, rahmatilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku di waktu kecil.” (Taujihat Islamiyyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu halaman 71-74)
Penutup
Aku berharap dengan tulisan ini agar menjadi :
Pengajaran bagi yang tidak mengerti hak-hak kedua orang tua.
Peringatan bagi yang lupa tentang salah satu pintu dari pintu-pintu menuju Surga yang hampir tertutup.
Bantuan bagi yang meremehkannya.
Ancaman bagi yang durhaka yang hampir terjerumus ke jurang neraka.
Aku berlindung kepada Allah dari durhaka kepada orang tua.
Dah aku berharap kepada-Mu, Ya Allah, agar mengampuni kedua orang tuaku dan merahmati mereka sebagaimana keduanya mendidikku di waktu kecilku.
Dan agar Engkau memberikan balasan yang baik kepada kedua orang tuaku seperti apa yang Engkau berikan kepada kedua orang tua karena anaknya.
Dan agar Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan, kekeliruan-kekeliruan, kelancangan, dan kekuranganku.
”Maha Suci Engkau, Ya Allah dan segala pujian untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada illah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau. Aku mohon ampun pada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.”
(Dinukil dari Wabil Walidaini Ihsana halaman 74)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
(Kuhadiahkan tulisan ini untuk ayahanda H.Imam Suhadi dan Ibunda H.Mistingah

Pengikut