Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya.
Termasuk dzalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Misalnya sapu diletakkan di dalam lemari. Atau memakai dasi tetapi tidak memakai baju.
Adil bukanlah berarti sama rasa sama rata. Bukanlah memberi semua orang dengan yang sama, melainkan memberi setiap orang sesuai dengan kebutuhan dan haknya.
Allah pun menetapkan perintah dan larangan selaras dengan kemampuan manusiawi hamba-Nya, dan kesanggupan alamiah makhluk-Nya.
Sungguh tidak pantas kalau hendak menyuguhi makanan tamu kebetulan tidak ada mangkok tempat sayur, lalu menggunakan asbak. Meski asbak itu besar dan baru dibeli dari toko, dan sama sekali belum pernah dipergunakan, tapi asbak adalah tempat untuk abu rokok.
Seorang petani desa akan naik kereta api. Menurut kebiasaan di kampungnya, kalau akan memasuki rumah orang, diadatkan untuk membuka sandal atau sepatu. Petani tersebut lalu melepas sandalnya pada waktu akan menaiki tangga kereta api menuju Jakarta. Sandalnya ditinggalkan di emplasemen stasiun Tegal. Pada saat turun di Stasiun Senen, ia mencari-cari sandalnya di emplasemen. Tentu saja sandalnya tidak terbawa.
Dengan bersungut-sungut dia mengomel, “Kurang ajar. Sandalku ada yang mengambil. Keterlaluan. Orang kota jahat-jahat!”
Begitulah. Ia menderita kerugian lantaran ketidaktahuannya. Memang mencari kambing hitam amat mudah. Jauh lebih gampang bila dibanding harus mencari kuman di mata sendiri.
Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya. Jika ia menjumpai perbuatan buruk dalam catatannya, ia mengambil cemeti dan dicambuknya punggung sendiri sampai menghitam.
Pada waktu meninggal dunia, saat jenazahnya akan dimandikan, orang melihat di punggung Umar penuh dengan bekas-bekas pukulan berwarna hitam meratai sekujur badannya.
Di masa hidupnya, apabila mendengar ayat tentang azab dan neraka, Umar menangis tersedu-sedu. Berbuat benar bukanlah tidak pernah berbuat salah. Berbuat benar adalah menyesal andaikata berbuat salah, dan berniat tidak akan mengulangi kembali kesalahan itu.
Pernah suatu hari, Abdurahman, anak Umar bin Khattab, ketika berada di Mesir menenggak minuman keras. Hukuman yang berlaku bagi peminum minuman keras saat itu, sekalipun tidak sampai mabuk, digunduli kepalanya dan dicambuk 25 kali di depan umum.
Namun Gubernur Mesir Amru bin Ash, memberi dispensasi khusus, Abdurahman hanya digunduli, tidak dicambuk. Itu pun dilakukan di rumah gubernur. Mungkin karena yang melakukan pelanggaran itu anak seorang amirul-mukminin.
Timbullah desas-desus miring, yang akhirnya terdengar juga oleh Umar. Segera ia memanggil Gubernur Mesir, agar segera datang ke Madinah, membawa Abdurahman.
Setelah hadir, mereka dihadapkan ke depan majelis hakim. Umar sendiri yang memimpin persidangan. Sambil menunjukkan kemarahan, ia berkata kepada Abdurahman, “Kelakuanmu tidak menunjukkan status sebagai anak pemimpin orang beriman. Malah leluasa melanggar hukum karena merasa akan dilindungi. Tidak! Aku lebih takut dan malu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya jika membiarkanmu bebas dari hukum yang berlaku. Engkau meminum minuman keras, suatu hal amat terlarang. Sudah mendapat hukuman digunduli, tetapi tidak di depan umum dan belum dicambuk. Oleh karena itu, aku perintahkan agar Abdurahman anak Umar, dicambuk di depan umum 50 kali. Sebanyak 25 cambukkan untuk perbuatan meminum alkohol, sedangkan 25 cambukkan lagi untuk sikapnya merasa diistimewakan karena anak Umar.”
Kepada Amru bin Ash, Umar berkata tak kalah keras, “Wahai Amr, mengapa hanya karena engkau takut oleh Umar, maka engkau berani melanggar perintah Allah dan RasulNya? Apa arti seorang Umar anak Khattab di hadapan Allah dan Rasul-Nya jika membiarkan kelakuanmu pilih kasih dalam menegakkan hukum, sedangkan Allah telah memerintahkan kita berlaku adil? Hanya karena yang berbuat salah Abdurahman anak Umar, engkau bedakan hukumannya daripada yang lain! Padahal Rasulullah SAW telah menyatakan tegas, seandainya Fatimah putri terkasih mencuri, akan tetap dipotong tangannya. Bahkan oleh beliau sendiri.
Masih terngiang ucapan beliau tentang kehancuran umat di masa lampau, akibat bertindak pilih kasih dalam menetapkan hukum. Innana ahlakallohul ladzina min qablikum, innahu idza saraka fihimul syarifu tarakuhu, wa idza saraqa fihimul dla’ifu aqamu alaihil haddu(jika yang melanggar kalangan elite, hukum dipermainkan. Akan tetapi jika yang melanggar rakyat biasa, dihukum sebenar-benarnya hukuman).
Tanpa ragu lagi Umar menjatuhkan hukuman 50 kali cambukkan kepada Amru bin Ash, seorang sahabat yang berjasa menyebarkan syiar Islam ke Mesir dan benua Afrika, sekaligus memecatnya dari kedudukan gubernur.
Hukuman kedua dari ayahnya itu membuat Abdurrahman jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Hal yang sama terjadi kepada putra Umar yang lain, Abu Syahmah, dalam kasus pelanggaran zina. Umar menolak menghentikan hukuman 100 cambuk atas putranya, meskipun para sahabat mendesak agar beliau menunda sisa hukuman itu karena Abu Syahmah sudah terlihat kritis. Abu Syahmah akhirnya juga meninggal dunia karena hukuman yang diberikan oleh ayahnya sendiri.
Umar bin Khattab bukannya tidak sayang kepada putranya itu. Beliau begitu sayang, beliau menangis seraya memangku jenazah putranya. Tapi rasa cinta, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar lagi. Mungkin karena itulah Sayyidina Umar dikenal sebagai figur Lâ yakhâfu fil-lâhi laumata lâ’im, tidak takut terhadap siapa pun dalam mengucapkan dan menegakkan kebenaran.
Imam Al-Ghazali menyebut tokoh yang memiliki keistimewaan semacam ini sebagai pemilik predikat l-khawâsh al-aqwiyâ’ atau orang-orang istimewa yang kuat dalam menjalankan agamanya. Merekalah orang yang paling layak untuk mengemban amanat kekuasaan untuk mengatur rakyat. “Orang-orang khusus yang kuat, tidak selayaknya, menolak kekuasaan… Yang aku maksud dengan orang kuat di sini adalah orang yang tak tergoda oleh dunia, yang tak dikuasai oleh ketamakan, dan dalam melaksanakan perintah Allah tak takut sedikitpun terhadap cercaan orang,” demikian tegas Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.
Sayidina Umar mengucapkan kebenaran dan melakukan nahi munkar sepahit apapun itu. Maka oleh karena itu, setan pun takut kepada beliau. Maksudnya, kemunkaran merasa sangat takut untuk menampakkan diri di hadapan Umar, karena beliau pasti akan memberantasnya dengan keras. “Demi Allah, setiap kali setan menjumpaimu melintasi sebuah jalan, maka ia mengambil jalan lain yang bukan jalanmu,” demikian pujian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk Umar