Ustad yg ngasih pengajian pasang tarip memang kebangetan, tapi tak kalah kebangetan yg ngundang maunya gratisan. Lha trus ustadnya mau makan apa kalau hari2-nya habis buat khotbah gratis ?
Barang siapa yang mau meniru cara berdakwah Rasulullah, maka tidak selayaknya dia meminta upah apalagi mematok tarif. Sekarang siapa yang mau anda ikuti, Rasulullah SAW atau para penceramah yang memasang tarif?
Saya kasih contoh kasus, seorang guru ngaji dng keilmuan di bidang bhs arab mengadakan les bhs arab & baca tulis quran. Orang tersebut mematok harga untuk JASA nya itu sbesar 2jt /bln. Apakah dng mematok 2jt tersebut si orang tersebut salah ?
"Saya tidak meminta bayaran. Tapi setiap kali selesai memberikan les. orang tua murid selalu saja ada yang memberi uang". Karena cukup banyak muridnya, pendapatan Aiman dari memberikan les mengaji itu lebih dari cukup untuk biaya hidup.
... dan komentar-komentar senada di atas pun akan selalu muncul, terus berulang dengan maksud yang mirip. Jarang didiskusikan di forum terbuka, kadang hanya gerutu di warung kopi, atau sudah sesuatu yg tahu-sama-tahu saja. Bagi da'i nge-top bin jadwal padat malah hal-hal *remeh tapi penting* di atas harus dibicarakan dulu melalui manajer atau sekretaris operasional nya.
Jadi apakah honor ustadz atau guru agama itu ada ? Jika ada, kita beri berapa wajarnya ? Apa cukup uang amplop seikhlasnya utk menutupi ongkos transport ? Bgm dengan ustadz selebriti yg hidup jauh lebih berkecukupan dari jemaah terkayanya sekalipun dan "memiliki" tarif khusus ?
Memang tak sedikit ustadz yang sukses dan kaya karena punya wirausaha (travel, sekolah, kost, peternakan, dagang, dll), kerja sampingan (pemandu haji/umrah, motivator, kepala sekolah, dll), atau boleh jadi suaminya kaya (jika ustadzah), dapat warisan dll. Sebagai jamaah tak perlu rewel mempertanyakan darimana datangnya kekayaan ustadz tsb he..he.. Namun lebih banyak mereka yg hanya mengandalkan pendapatan utama dari mengajar agama. Waktunya memang difokuskan utk berdakwah, ibadah, dan keluarga.
Dua sisi IKHLAS bertemu -- satu sisi memberi jasa profesional dengan ikhlas dan satu sisi lain membayar jasa yg telah diterima seikhlasnya. Bagaimana pendekatan definisi ikhlas yg tepat, win-win solution dan tidak mengundang murka Allah sebagai Sang Pemilik Ilmu dan Kekayaan. IKHLAS menurut Syekh Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyah adalah "Melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mendekatkan diri hanya kepada Allah SWT, bukan untuk mendapatkan sesuatu, atau bukan untuk mendapat kasih sayang daripada mahluk Nya".
Tanpa disadari sebagian kita memasang definisi berbeda tentang ikhlas apabila dikaitkan dengan ustadz, guru mengaji, atau iuran kelas madrasah Islam di dalam praktek. Ungkapan seikhlasnya sebagai balas jasa (honor) sering diartikan gratis atau semurahnya. Lebih murah iuran pengajaran (tuition fee) yg dikenakan oleh seorang pengajar agama, maka lebih tinggi lagi keikhlasan yg kita rasakan. Apalagi kalau benar digratiskan sama sekali.
Sungguh tulus dan ikhlas guru mengaji ini !
Sebaliknya bila semakin tinggi iuran yg dikenakan, semakin tipis keikhlasan guru tsb kita rasa di dalam hati.
Seringkali orang tua merasa berat utk mendaftarkan anaknya belajar mengaji ke seorang guru apabila mengetahui iuran per bulannya Rp. 100 ribu, namun merasa wajar saja jika sang anak ikut les pelajaran dengan biaya dua / tiga kali lipatnya utk satu mata pelajaran yg akan keluar di ujian kenaikan kelas.
Individu bukan pendakwah dipandang hebat jika mengemudikan mobil mewah atau memiliki rumah mewah namun label yang kurang pantas akan ditempelkan pada pendakwah yg bergaya hidup sama (ustadz mata duitan, cari popularitas dengan mengorbankan ilmunya dll).
Aneh jika seorang guru agama meletakkan *harga* bagi jasanya, namun hal yang biasa bagi seorang dokter, arsitek, pengacara utk menentukan tarif mereka.
Tidak ada yang melarang seorang pun dlm mengajar agama atau ceramah jika ia meminta upah. Ini kembali pada niat. Apakah seseorang berdakwah (di jalan Allah) untuk semata mencari uang atau mencari ridha Allah dan menegakkan kalimat Allah dimuka bumi. Mereka juga manusia yg memerlukan dukungan finansial dalam menjalankan tugas (pangan, sandang, transport), menafkahi keluarga, sekolah anak, bayar rekening, cicilan rumah dll. Tidak ada yg menggaji mereka secara rutin. Sudah selayaknya mereka pun berhak untuk menetapkan tarif jasa yang pantas atas ladang amal mereka yg khas tsb sebagaimana profesional yg lain.
Bagi mereka *honor* adalah pilihan. Ada kalanya mereka sudah berkecukupan karena ada sumber finansial yg lain maka mereka pun segan utk meminta bahkan mereka akan memberi para murid yg kekurangan. Namun bagi mereka yg tidak memiliki sumber lain sudah selayaknya mereka dibantu. Allah SWT berfirman, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui," (Al-Baqarah: 273).
*terinspirasi tulisan di Menara Sinar edisi 1/2011 oleh ust Kauthar
*baca juga pandangan Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitab Fiquzh Zakat mengenai para pendakwah dan berhak menerima zakat, seperti di tulisan ust Ahmad Sarwat.
http://menata-hati.blogspot.com/2011/10/ustadz-ngaji-mau-dibayar-berapa.html
kalo mengacu pada zaman Nabi Muhamad, kalau mau jujur tidak boleh ada tarif, apa bedanya dengan komersialisasi agama tuk buat makan. Jabatan yang disandang adalah pewaris nabi, apa nabi mewariskan ilmu untuk dijual di masayarakat awam dengan imbalan tertentu???
BalasHapusjgn berkelit dengan kasus orang tua yang rela mengeluarkan uanng untuk kepentingan non agama, bagaimana dengan org tua yang tidak cukup punya uang untuk membayar honor mengaji yang sudah dipatok? apa terpikirkan itu juga Mas???
>>>>
Jadilah guru ngaji, baru komentar
Hapus